Senin, 03 November 2014

Bersama Mimpi



AKU berlari sekuat tenaga, aku meraih tangan halusnya
Senyuman manis menyambut bersama desahan nafasku
Langkah kaki berlahan berhenti dikala tubuhnya mendekat
Tatapan mata sayunya bagai menghantam raga ini...

Memegang tangannya sekuat hati menyebut namanya
Namun mulut ini bagai terkunci tak sanggup berucap
Berusaha menyapa apa daya tangannya terlepas
Makin menjauh bagai tertiup angin melayang dan hilang

Tinggalah sebuah nama tersimpan di hati rapuh aku
Aku ucapkan nama indah itu Theresia... Theresia... Theresia..
Sekejap itu mataku terbuka melihat cahaya lampu peraduan
Aku terjaga dari mimpi... bersama mimpi Theresia tersenyum

Dunia Hukum Panggung Sandiwara



MENJADI pendekar hukum adalah hal yang membanggakan. Apalagi dunia pengacara begitu berwarna, tak hanya hitam dan putih, tetapi berwarna warni bagai pelangi bahkan kadang susah ditebak warnanya.

Sebagai salah satu penegak hukum di bangsa ini, tentu profesi lawyer atau advokat atau pengacara begitu memegang peranan penting untuk hukum menjadi panglima di bangsa ini.

Namun, carut marut politik kita, ekonomi kerakyatan yang dikuasai kaum elite, ikut menggiring para penegak hukum di negeri ini, yakni para hakim, jaksa, polisi dan pengacara harus memilih berada di wilayah abu-abu.

Mengapa demikian ? Percaya atau tidak, negeri ini bukan lagi berdasarkan hukum sebagaimana tercantum dengan tegasnya di UUD 1945. Hukum ibarat satu kata yang pahit rasanya bila dikecap oleh orang kebanyakan di negeri ini. Hukum itu kata teman saya yang sehari-hari menjual jajanan nasi kuning keliling, identik dengan uang pelicin. Dan tak tajam keatas melainkan tajam kebawah. Apa artinya ? Masyarakat kecil sudah apatis dengan para penegak hukum kita.

Teman saya, rupanya sudah pandai memainkan kata-kata dengan menyebut supremasi hukum yang diperlukan bangsa ini. Tapi bagaimana membersihkan sampah-sampah itu dengan sapu yang kotor pula ? Terlihat keningnya mengerut tanda pesimistis.

Ada benarnya juga teman saya yang rakyat kebanyakan kaum kecil dan termarginalisasi oleh sistem elite bangsa ini. Sebab belum lama berprofesi pengacara, saya pribadi sudah diperhadapkan kewilayah abu-abu bahkan  hitam pekat.

Tetapi saya pribadi tidak mau tergerus pula dengan wilayah abu-abu atau hitam itu, melainkan berpikir jernih dan teringat tulisan pakar hukum kita, Almarhum Prof Charles Himawan mengenai hukum sebagai panglima. Menurutnya, ia begitu percaya dengan keampuhan supremasi hukum. Hal ini bisa, jika hukum berjalan di track yang benar. Sehingga dampaknya jelas pada perekonomian dan kehidupan bernegara yang pasti sehat.

Kita kata Himawan harus terus menyuarakan rule of law, meski ibarat berbicara di tengah keriuhan orang banyak. Himawan menyebut, kapan kiranya Indonesia mempunyai badan peradilan yang baik, sehingga apapun keputusannya bisa diterima semua pihak di bangsa ini dengan baik ? Tentu hal itu membutuhkan waktu, tergantung sikap dan mind set bangsa ini.

Kembali lagi kepada teman saya yang penjual nasi kuning keliling, hal mengejutkan diungkapnya bahwa tetanganya lagi ketiban sial, saat anaknya kedapatan membawa narkoba dan sedang diproses hukum harus merogoh uang tabungan selama puluhan tahun untuk membayar oknum polisi, oknum jaksa dan oknum hakim untuk mengatur hukuman yang ringan dengan perantara pengacara.....hemmm hukum oh hukum. (Deandra)

Jagoan Neon Beraninya Sama Parang...


TAK terbayang sebelumnya kalau akan bernasib apes. Mungkin sudah harus menjalani lika likunya hidup dengan kembali berkelana.  Ada pepatah katakan "nasi sudah jadi bubur". Dari pada kita buang... sebaiknya kita telan saja panas-panas.

Berbicara amarah alias emosi, tentu semua manusia mempunyai hal itu. Bisa dikatakan sama dengan menelan bubur panas tadi, sembari diomelin sama pacar atau istri kamu yang berwajah bak nenek lampir. Yah... panas-panas menyakitkan.

Seperti dongeng kartun anak balita saja, yang gemarnya makan permen rasa nano-nano dengan warna warni melekat, tak hanya di lidah dan bibir, melainkan sampai ke hatinya, sehing warna warni itu melekat kuat tak terhapuskan.

Dalam dunia anak-anak sering ada jagoan fantasi mereka, mungkin anak baru gede juga sudah hafal benar peran lakon jagoan mereka. Yah..dasar anak-anak yang tidak tahu membedakan, mana kenyataan dan mana hanya fantasi.

Apalagi kalau anak lelaki, saat memegang kayu saja dibuat seolah-olah pedang atau parang. Diayunkan bak seorang jagoan.... Seakan dirinya hidup sendiri tanpa mengenal yang namanya perasaan dari teman bermainnya. Jika tak ada yang awasi, tentu kayu yang jadi parang-parangan itu bisa mendarat mulus di kepala anak-anak lainnya.

Plak...plak..plak. Kalau sudah begitu pastinya terdengar hanya tangisan saja. Anak-anak lainnya yang tak kena sabetan dari si jagoan neon berparang-parangan itu tentu malah mengejek.... "Dasar jagoan neon, beraninya sama parang," celutuk anak-anak lainnya yang seolah pula berfantasi sedang menghadapi musuh beneran.

Kok jadi aneh yah..? Yang bermain.. nangis anak-anak, kok malah orang dewasa yang mencak-mencak, marah-marah dan menuding yang tidak-tidak.

Akhirnya korbannya anak-anak itu juga, yang sama sekali tak pernah dilihat perasaan mereka oleh orang-orang yang mengaku tua dan sok bijak itu.. Dunia fantasi anak tercoreng dan terenggut oleh jagoan neon berparang, tak mengerti bahwa dirinya adalah anak-anak yang patut dikasihi...brrrr...(deandra)

Pelacuran Manado Dekat Rumah Ibadah, Pemerintah dan Polisi Biarkan


Manado – “Dunia kelap-kelip” Kota Manado makin bergairah saja. Di bilangan Malalayang, tempat esek-esek paling meriah di Kota yang dipimpin Walikota Manado, GS Vicky Lumentut dan Wakil Walikota Harley Mangindaan ini, menjadi tempat favorit para pria hidung belang dalam mencari kenikmatan sesat tersebut.

Ironinya, tempat pelacuran itu tak jauh dari rumah ibadah. Anehnya, masyarakat sekitar maupun pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Manado serta aparat kepolisian seakan tutup mata dengan tempat maksiat yang terus beroperasi di bibir pantai Kota Manado itu.

Penelusuran Cybersulutnews.co.id, tempat pelacuran plus hotel kelas melati serta pub dan diskotik, awalnya terlihat biasa-biasa saja. Saat memasuki pintu gerbang menuju tempat yang dikenal dengan Hotel Kowloon Manado, tampak pelataran parkir penuh dengan berbagai jenis mobil.

“Bisa dibantu,” sapa seorang pria saat menyambut mobil kami yang belakangan diketahui bernama Audy, tak lain germo di tempat tersebut.

Dengan isyarat tertentu, kemudian Audy yang biasa disapa “Papi”itu, menghampiri kendaraan kami yang terpakir tepat disebelah kendaraan bermerk Honda Jazz berwarna merah. “Banyak yang bagus-bagus,” timpal Audy serta disusul munculnya lima gadis cantik dari beberapa mobil yang terpakir dan mendekati kami.

“Standar saja, Rp750 Ribu, ditambah Rp 130 Ribu untuk kamar sekali main,” ucap Audy, yang menjawab pertanyaan kami mengenai harga short time alias satu kali main dengan gadis-gadis asuhannya itu.  

Beberapa saat kemudian mata Cybersulutnews.co.id, terarah pada kemolekan gadis yang keluar dari mobil Honda Jazz disamping kendaraan kami.

“Nama saya Marcella,” ujarnya dengan senyuman manis gadis berusia 21 tahun ini.

Marcella, gadis berusia 21 tahun ini, selain mempunyai wajah cantik dengan rambut pirang sebatas bahu ini, tentunya memiliki kulit “kuning langsat” nan menggoda. Bersama lima orang gadis yang rata-rata berusia sebaya, terus membuai setiap pria yang berkunjung di bilangan Malalayang, termasuk Cybersulutnews.co.id (CSN) yang datang bersama dua pria lainnya, tak lain wartawan media online dari pulau Jawa, yang ingin melihat secara langsung rutinitas “dunia malam” di Kota Manado.

Menariknya saat digoda, Marcella langsung menyebut bahwa dirinya hanya mau main (maaf-Making love, red), bila tamunya memakai kondom.  “Bang pakai kondom yah. Saya tidak mau kalau tidak pakai,” celutuk Marcella yang menggunakan nama samaran ini, sembari ditimpali sang “Papi” Audy.

“Dijamin aman, dan sehat-sehat. Servicenya juga mantap,” guyon Papi Audy meyakinkan kami.

Tak sampai disitu saja, Papi Audy lantas menawari bahwa gadis-gadis itu bisa dibawa ke luar lokasi atau “bermain” di hotel lainnya di Kota Manado, asalkan uang langsung dibayarkan kepada mereka.

“Kalau sudah bayar sesuai kesepakatan harga yang ada,  yakni Rp 750 Ribu, bisa langsung bawa. Tapi tetap hanya untuk sekali main saja,” jelas Audy dan menyambung selain harga Rp 750 Ribu, juga ada harga lainnya Rp 500 Ribu gadis-gadis binaannya di lokasi pelacuran tersebut.

Hal lainnya dari pengamatan cybersulutnews.co.id, setelah tidak diminati oleh pengunjung yang datang, para gadis-gadis binal tersebut, langsung balik ke mobil masing-masing yang terpakir di areal lokasi mesum itu, sebelum kemudian menawari diri mereka kembali tanpa malu-malu lagi, ketika ada tamu baru atau pengunjung lainnya.

“Wah.. di Manado baru saya temui transaksi pelacuran di pelataran parkir, para gadis sudah stanby di dalam mobil, sebelum kemudian keluar menawari diri saat ada tamu melalui arahan Papi atau germo Audy itu,” ungkap kawan seorang jurnalis asal pulau Jawa ini yang enggan dipublis namanya dan menyambung tempat pelacuran tersebut begitu unik dan tanpa diusik warga sekitar walaupun berada tak jauh dari rumah ibadah di bilangan Malalayang itu.(deandra)